December 17, 2012

Petani Dalam Gelisah yang Tersembunyi

Pagi yang indah, mentari yang mulai tebarkan semnyum pada umat manuisa mulai membukakan mata. Udara sejuk yang menerpa setiap pori tak mampu terlupa dalam dada. Embun yang belum berlari, sorotkan pantulan seperti kemerlip bintang.
Desa yang hijauh, bukit-bukit cincin desa membentengi sejahterah.

Para petani mulai berkerja, menuju sawah dan ladang untuk tanamanya, demi menghidupi keluarga dan sanak-saudara, demi keberlangsungan ekonomi Negeri. Semua mereka jalani dengan semangat, bermodal cangkul dan sabit, tenaga dan semangat sebagi pusat energi. Demi sebuh karya hasil panen yang melimpah.

Dari sudut atas, diri hanya bisa memangdang riang "sungguh luar biasa, alam mendidik mereka" gerutu dalam dada. Sudut mata ku biarkan berlari liar menangkap semua keindahan, pikiran hanya bisa mengimbagi dan menikmati, hati meresapi dengan syukur pada Illahi. Sepasang kaki membawa tubuh untuk terus mengikuti penasaran, mencapai titik penangkapan dalam kesempurnaan keindahan.

Memang saat itu jalan-jalan pagi, ketika bermain kerumah teman yang tinggal di pegunungan. Pagi setelahnya menginap, meski dalam semalam kedinginan, saat mentari menyapa, tak ingin lewatkan kesempatan. Menangkap kehangatan dengan berjalan-jalan ke ladang dan sawah di pinggir desa.

Kudapati senyum dan sapa para warga, rasa bahagia yang diungkapkan dengan sederhana, meski para semut setiap saat melakukanya, Ku temukan pemandangan itu disini. Tak hanya kesempurnaan alam, pekerti tingkah masyarkatnya juga menentukan keberlangsungan kelompok ini.

"badhe, pundi mas....?"
 sapa seorang warga yang bertepatan dijalan, dengan bahasa jawa yang sopan.

"mlampah-mlampah dateng saben"
jawabku dengan senyum dan sedikit terbata-bata, karena lama tidak menganal bahasa jawa yang lebih halus, hanya sekilas-sekilas teringat pelajaran muatan lokal ketika masih sekolah dasar.

"Monggo, menawi sareng, niki ngeh badhe ten saben" imbuh petani itu, dengan menawarkan diri untuk membonceng ku dengan sepeda buntut  dalam perjalanan.

Akhirnya kita juga berangkat bersama, dalam perjalanan sempat kita saling bertanya, lebih banyak saya yang mencerca pertanyaan, Pak tani itu menjawab dengan penuh nilai kehidupan dan kejujuran atas apa yang telah dirasakan.

"kadhose sampun badhe panen, wulan ngajeng pak...katah rizkine, manton niki?"  Aku bertanya dengan sedikit bentuk pernyataan, agar beliau mengungkapkan apa yang dirasakan.

"Amien, Enggih, awal wulan ngajeng pun panen, tapi sami mawon mas, nasib e tiang alit, panen kaleh biayae sami larange, petani alit kados kulu moten saget sogeh mas" jawab pak tani itu.

"Tapi sugeh, pahala pak" sahutku dengan segera dengan intonasi bahasa bercanda dan berhias tawa, mencoba menghibur, mengikis rasa kecewa"...

Beliau menggambarkan keadaan panen yang tidak seimbang dengan biaya produksi, hasil panen hanya bisa menutupi kebutuhan produksi tanam lagi, jika ada kebutuhan yang mendadak juga hutang.  


bersambung...

No comments:

Post a Comment