January 3, 2014

Kursi Peralihan Tahun 2013-2014


Ah seramai apa pun suasana kota Malang dengan semua kemacetan jalan dan meriah pesta tahun baru menyambut 2014, suasana hati akan tetap sepi menyimpan gelisah.

----***----

Daka, seorang mantan aktifis kampus yang waktu mahasiswanya banyak teman, tak pernah ia merasa sepi meski sebatangkara hidup di kota rantau mengejar sarjana. Namun suasana itu berbanding terbalik dalam kehidupanya sekarang, setelah satu tahun ia dapatkan selembar kertas lebel tersebut.

Ia sekarang masih tinggal di kota rantau dengan segala kesibukan bekerja sebagai seorang awak media otomotif online. Meski gajinya tidak terlalu besar tapi itu merupakan keberuntungan tersendiri baginya.

Meski pun demikian, dalam perkerjaan ini ia menyimpan banyak kekecewaan lantaran ijazahnya belum berguna. Lebel dari kampus jauh dari bidang yang ia geluti sekarang, selembar kertas itu sekarang hanya bisa menjadi hiasan pengabnya almari.

Dengan pekerjaan dan kesibukan baru, menjadi dunia baru bagi Daka. Kehidupan aktifis yang penuh dengan pertentangan tapi banyak persaudaraan ia tinggalkan. Perjalanan yang penuh dengan nilai kritis dan kesederhanaan hidup, diselah-selah suara lantang ketidakterimaan yang menjadikan kedewasaan berkehidupan. 

Kini semua tinggal kenangan, semua tinggalah catatan dalam memori kenangan, sepi dan sendiri.

Beruntung pikirannya masih sadar menerawang keadaan hatinya yang penuh gelisah, berjalan bersama tubuh yang semakin termakan usia, pikirannya mengenang masa-masa yang penuh harapan dalam perlawanan, penuh semangat dalam perlawanan yang penuh keyakinan. 

"Dulu kita sering meneriakan kebobrokan negeri, busuknya tingkah oknum pemerintah" kenang pikiran pada tubuh yang bersandar di pojok tembok. 

"Ya itu masa mahasiswa, masa penuh dengan diskusi dan konsolidasi, masa membawa bendera didepan barisan ribuan orang menuntut hak kemerdekaaan" sahut tubuh mengenang itu semua.

"Ah itu kan dulu," ungkap hati, ditengah perbincangan pikiran dan tubuh.

"Sudalah, semua itu tinggal kenangan, lihatlah kondisi kita sekarang, meski masih ada kalian tapi aku disini masih merasa sendiri, aku tak mampu mengatur diriku sendiri, masih kalian sibukkan dengan segala yang kalian lakukan" tegur Hati, sekaligus menasehati Pikiran dan Tubuh.

"Jangan kau, seperti itu, kita mengenang semua karena hari ini akhir tahun 2013, patutlah kita mengevaluasi semua yang pernah kita lalukan, meski tujuan masih jauh diangan. Lawan kita adalah sistem dan dalam satuan kita sendiri" sahut pikiran, mencoba untuk memebuka, si Hati agar mau membincang lebih jauh tentang forum akhir tahun.

"Benar itu, aku setuju apa yang dikatakan pikiran barusan, aku selalu siap dengan keterbatasan ku untuk mendukung kalian, sesekali aku cuma butuh istirahat yang cukup, agar aku bisa tetap mendukung kalian," ungkap tubuh sekaligus curhatanya.

Ketika sudah saling mengungkapkan, sejenak mereka terdiam, saling berfikir keadaan masing-masing yang telah terlewati dan apa yang akan dilakukan.

"Ok jika memang ini menjadi forum kita malam ini, mari kita tentukan dulu satu persatu apa yang akan kita bahas," ungkap Hati memecah keheningan diam.

"Seip, kita selesaikan saja curhatan masing-masing, baru kita berbincang rencana mendatang," sahut pikiran dengan wajah bijaksana, yang sebelumnya penuh dengan muram.

"Setuju, siapa yang mau duluan" timpal tubuh sambil menggapai cangkir kopi hitam yang dari tadi di cuekin.

Melihat semua dengan kesepakatan tersebut Hati hanya bisa menengahi dan meluruskan, meski awalnya ia lebih diam dan cuek lebih pada memikirkan kenyamanannya sendiri. "Baiklah tadi, sebagian kan sudah mencurahkan curhatannya, sekarang kalau mau menambahi juga tidak apa dan nanti kalau semua sudah selesai curhatanya mari kita berdiskusi apa yang akan kita lakukan di tahun depan" uangkap si Hati.

"Pikiran, dari tadi tak begitu terdengar curhatan mu!" tambah Hati sambil bertanya pada pikiran.

"Aku si gak banyak keluhan, cuma kadang aku jenuh melihat kalian yang demikian, aku juga bisa lelah jika diajak beraktifitas seharian penuh, jujur aku pengen refresing melihat pemandangan hijauh, entah itu pegunungan kesejukan hutan, atau biru pantai dengan desir ombaknya. Aku gak suka jika liburan, penuh dengan keramaian manusia dan kebisingan perkataan dan tingkah mereka" curhat pikiran. 

"Ya sekarang, masih ada lagi gak?, yang mau curhat atas kekesalan di tahun 2013 sebelum kita lanjut ke topik selanjutnya" pungkas Hati.

Secara tidak langsung ia menjadi penengah layaknya pimpinan sidang. 

"Ok kalau tidak ada yang mau curhat lagi, kita lanjut ke pembahasan selanjutnya!, kesimpulan tetap pada diri masing-masing" tambahnya.

"Ya uda lanjut saja, tahun sudah berganti nich", sahut Tubuh yang terlihat mulai lelah. 

"Makan dan minum dulu, biar kau semangat lagi," sahut Pikiran dengan sedikit mengejek Tubuh.

"Apanya yang dimaka!, ini yang ada hanya secangkir kopi hitam" timpal tubuh. 

"Sudah-sudah, kita lanjut saja pembahasannya biar cepet selesai," celetuk Hati. 

Setelah mencurahkan keluh masing-telihat wajah ceria kepuasan diantara mereka. 

"Aku muali dulu, aku tidak banyak harapan, aku cuma ingin lebih bisa bertahan dalam menanggapi semuanya, tak mudah aku jenuh, dan tak mudah aku mengeluh pada kalian serta aku ingin berikan semangat untuk kalian. sementara aku belum punya targetan," sahut pikiran untuk memulai perbincangan harapan ditahun 2014 ini.

"Kalau saya, cuma ingin lebih tenang, tak mudah terombang-ambing keinginan. Saya ingin menyelesaikan sisa-sisa di 2013 yang lalu, agar ada hasil yang diharapkan. Paling tidak ada bentuk kongkrit sebuah karya dan sebuah penghasilan, meskipun kecil" ungkap Hati, menyambut perkataan pikiran sekaligus mengungkapkan harapanya di 2014.

"Sekarang tinggal kau, Tubuh," tambah Hati.

"Emh, kalau hamba si ngikut dan dukung saja apa yang kalian, harapkan dan targetkan. Tapi harus ada bentuk kongkritny, bentuk karya yang seperti apa, target finansial berapa, meski itu sebuah proses, dan hasilnya belum kita ketahui" jawab tubuh sekaligus penjelsan harapan pada forum ini. 

"Sudah ada yang lain kalau gak, saya simpulkan," sahut Hati.

Semua terdiam, arah pupil mata pada ketengah, layaknya orang-orang yang konsentrasi berfikir. Forum mereka tinggalah sebuah kempulan bersama yang menjadi progaram untuk dilakukan di tahun 2014.

"Dari pada kelamaan, saya simpulkan tar jika ada yang kurang silakan ditambahi" Hati berucap memecah hening pembicaraan.

"Lanjutka" sahut pikiran.

"Ok, target pertama, hasilkan karya yang bisa dibukuhkan, karena ini merupakan hutang lama kita yang belum terealisasi, target sebelum menjadi sarjana dan sebelum wisuda, yang kadas karena banyaknya kesibukan tidak jelas dan tak terkontrol. Lagi pula karena ada musibah file yang hilan dan rusak.
Kedua kita maksimalisasi web yang ada untuk menghasilkan uang tambahan, sudah ini dulu dari saya" tutup kesimpulan dalam pendapat Hati.

"Ok sepakat, aku cuma menambahkan saran saja" sahut Pikiran.

"Untuk Hati, ku harap dikau juga lebih tenang dan sabar menanggapi semua persoalan yang kita hadapi dalam proses program kita, kalu bisa dikau lebih banyak berdo'a dan mendekatkan kita pada sang pencipta semesta dan penggerak isinya termasuk kita. Sedangkan untukmu Tubuh, lebih banyak dikau rawat dirimu, sering-sering kau mandi dan makan yang agak teratur, meski parasmu lumayan jangan sombong diri untuk tidak merawat diri, paling tidak kau jaga kesehatan. Terakhir untuk aku sendiri, aku sendiri jangan sampai tergoda dengan keinginan baru sebelum semua selesai dan menghasilkan," ungkapan saran dari pikiran.

"Seip, hamba hanya bisa dukung semaksimal mungkin dan terimakasih atas sarannya" tutup pembicaraan tubuh.

Forum dalam lelaki sepi seorang Daka telah selesai. Seri wajahnya mulai terlihat. Sambil ia beranjak dari tempat duduknya, ia menatap 2014 meninggalkan tempat duduknya 2013. 

Nb: Waktu nulis lagi bercengkrama dengan teman-teman yang mabuk pas malam tahun baruan.
Penulis: Cairudin

Anak Sampah, Bersihkan Negara


Meski terlihat kejam, tapi aku paham inilah pendidikan dan kenyataan yang ayah ajarkan, biar aku tidak salah untuk menjadi manusia.

-----*****-----


Sebelum subuh ayahnya pun sudah membangunkan tubuh mungil Ahan,  bergegas ia mencuci muka dengan mengambil air wudhu kemudian sholat subuh berjamaah. Setelahnya ia harus  menarik gerobak sampah, satu-satunya tumpuhan hidup keluarga.

Inilah keseharian yang dilakukan Ahan, meski usianya masih anak sekolah dasar tapi ia harus menarik gerobak sampah untuk membersihkan kotoran dari lingkungan kompleksnya.

Ayahnya berada dibelakang sambil mendorong gerobak yang ia tarik, setiap kali harus berhenti disetiap depan rumah untuk mengambil sampah rumah tangga tersebut. Ketika gerobak masih jalan sebentar tidak terlalu berat, tapi ketika sudah satu gang keliling, beban berat tarikan semakin bertambah seiring tumpukan demi tumpukan terus menggunung dalam gerobak.

Tenaga yang kami keluarkan pun semakin besar, butiran keringat dikening Ahan dan ayahnya mulai bercucuran.

"Yah, kayaknya sudah hampir penuh lambung gerobak, pundakku sudah terasa semakin ditekan" sedikit curhatan Ahan keluar dari mulut mungil tubuh yang berusaha roda gerobak tetap melaju.

"Bentar lagi juga sudah habis, entar kalau ditanjakkan Ayah yang narik, ganti kamu yang dorong," secuil semangat dari tubuh yang semakin termakan usia.

"Tapi semakin hari kayaknya warga semakin banyak saja sampah yang mereka buang, bulan kemarin kayaknya tidak seberat ini!" Gerutu Ahan.

"Ya, itu sudah wajar, manusianya juga semakin banyak, jadi sampah yang dibuang juga banyak, kalau sampahnya banyak nanti penghasilan tambahan kita juga akan nambah dari botol plastik dan kertas-kertas yang bisa kita jual," kata-kata motivasi ayahya keluar lagi, mananggapi gerutu Ahan.

"Menjadi tukang pungut sampah itu pekerjaan mulia, Han," tegur Ayahnya, untuk tepis gerutu anaknya.

"Mulia dari mananya, pekerjaan kotor dan bau seperti ini, ayah kok bilang mulia. Bukannya pekerjaan mulia dab bersih itu, pekerjaan para penceramah yang dengan baju bersih, dan kata-katanya bisa berarti bagi orang lain" sahut Ahan, sebelum ayahnya selesai menjelaskan.

"Aku pun sering dikatain temen-temen, anak sampah, dari mana bisa mulia," imbuh anak yang masih usia sekolah dasar, 11 tahun ini.

"Ayah bilang mulia karena, membersihkan sampah termasuk membersihkan hati, juga termasuk kita mencintai kebersihan. Bukan kah kebersiahan sebagian dari iman, itu kalau kau di ajar disekolah" ungkap ayahnya dengan kalem sambil, tangannya mengangkut tong sampah untuk dimasukan dalam gerobak.

"Dengan pekerjaan ini, kita juga mengurangi gerutu masyarakat dari kotoran sampah. Ketika sampah tidak kita bersihkan dan menimbulkan bau tidak sedap, warga pastinya akan menggerutu. Selain itu bisa jadi bibit penyakit. Melalui apa yang kita lakukan sekarang, kita juga ikut menjaga warga dari terserang penyakit, dan warga juga tetep terjaga dari maksiat untuk mencaci orang lain" tutur sang Ayah.

"Sebab itu ayah mencintai pekerjaan ini?" Tanya Ahan, sambil menatap muka lesu ayahnya dan kedua tangannya membatu untuk menaikan tongsampah untuk di tuang dalam gerobak.

"Ya, bukan hanya mencintai tapi ini juga sebagi bentuk pengabdian ayah pada negeri ini. Meski hanya dengan membersihkan sampah dilingkungan kompleks, setidaknya itu yang bisa ayah banggakan dinegeri yang kotor penuh tikus pejabatnya. Banyaknya tikus itu karena banyaknya sampah persoalan yang menumpuk dan tidak segera dibuang, sehingga para tikus justru menjadikan tong sampah rumah yang nyaman baginya. Kalau tong sampahnya bersih tikus tidak nyaman berada disitu, karena tidak ada sisan sisa makanan yang bisa mereka ambil. sama halnya yang ada di negara kita persoalan dan musibah justru menjadi tempat yang nyaman para tikus pemerintah. Sekarang kamu mungkin belum paham nak!, kelak dirimu akan mengerti apa yang ayah ucapkan hari ini"

Nasehat pajang sang ayah yang samar-samar dan cukup sukar untuk dipahami Ahan.

"Ya uda yah, kita selesaikan pekerjaan ini dan segera kita beristirahat" sahut Ahan, yang tidak begitu paham yang ayahnya ungkapkan.

Mereka pun melanjutkan pekerjaanya, sampai dijalan menanjak ayahnya menggantikan Ahan untuk menarik gerobak dan Ahan ganti yang mendorong..........

Nb: inspirasi dari tetangga kontrakan

Penulis: Cairudin

Kopi Hitam Kehidupan





Ya inilah kehidupan, ada gelisah dan ada bahagia, layaknya secangkir kopi hitam, ada pahit dan manis. Ketika perpaduanya pas dan kita bisa menikmati maka kenikmatan akan kita rasakan dalam hidup.


Begitu pula sebaliknya ketika ada yang kurang pas maka pastinya akan berkurang kenikmatan tersebut, terlalu pahit atau tertalu manis juga tidak enak.

Kemudian siapa yang meracik kopi kehidupan kita, si penyeduh dan peracik kehidupan kita, ya dialah sang penggerak semesta beserta isinya, tak mungkin ada yang kurang pas, carikan tersebut pastinya sudah disesuaikan dengan kebutuhan kita, tinggal bagaimana kita menikmati kopi kehidupan tersebut.

Ketika kira kurang bisa menikmati dan mensyukuri kopi kehidupan, maka ada ketidaknyamanan. Kopi terlalu panas untuk segera dimunim, hidup tergesah-gesah dalam ambisi, atau dengan air dingin yang menggambarkan kemalasan hidup. Ya bakal kurang pas kenikmatanya, dalam menikmati kopi itu.

Caranya, dengan perlahan sedikit-sedikit kita tuang dalam bejana yang disebut "lepek" kemudian biarkan agak dingin, baru kita minum, sungguh cukup nikmat rasanya. Sama dengan menjalani hidup ini perlahan tapi pasti, istirahat cukup, ibadah teratur dengan penuh syukur.

Bisa juga kita samakan dengan bekerja dan berkarya sedikit demi sedikit kita tuangkan hasil pikiran menjadi karya tersendiri, menghasilan jalan untuk mendapatkan rizki kenikmatan finansial, persaudaraan dan kebaggan hati bisa berbagi.

Apalagi jika ngopi kehidupan dilakukan tidak sendiri, bersama beberapa orang, dengan canda tawa, bercengkrama dan sharing informasi keilmuan, justru menjadi kenikmatan lebih dalam kita menikmati secangkir kopi kehidupan ini.

Analogi ini sama halnya dalam kehidupan ini kita bisa berbagi dengan orang lain, menghibur hati mereka yang sedang berselimut kesedihan, memberi informasi mereka yang membutuhkan, canda tawa dalam cengkrama persaudaraan, berbagi sedikit penghasilan dengan traktiran.

Dalam kopi hitam kehidupan kita juga butuh pengabdian, kita butuh berbagi, kita butuh menyayangi dan cintai, kita juga butuh rasa bangga sebagai ekpresi dan pendorong diri untuk berkarya.

Penulis: Cairudin