August 16, 2012

Kekecewaan dalam Kemerdekaan



Sore yang cukup cerah, musim sedang kamarau, udara lebih sejuk jika sore hari, sang kakek tua duduk termangu di teras menatap kedepan halaman rumah. tepian jalan berderet benderah merah putih, lambang peringatan Kemerdekaan telah lama di mulai. Tatapn kecewa akan nasib dirinya dan bangsanya, lusuh layu, secuil semangat pun entah kemana.

Sanga saka merah putih yang kusut dan kusam, sudah puluhan tahun tetap dipajang saat-saat seperti ini. Momentum bersama dan anjuran aparat desa, setelahnya terlipat dialmari.

Dalam hening diriku memcoba menghibur "kakek, tua-tua kok melamun" dengan sengaja terlontar kata.
senyum lesu, beliau lontarkan untuk mencoba menhiburku.
"Aah ada apa cung" jawab sikakek dengan muka cukup bijaksana, meski muka sudah tua renta.

"kenapa scih" sahutku dengan lugu.."kakek menatapi bendera itu.? dan kenapa benderanya g' di danti yang baru saja, kan sudah kusut dan g' karuan bentuknya"  cercah ku bertubi-tubi

"Itu perjuangan dahulu cung" jawab beliau dengan serius "dulu masang benderah kayak gini sudah nyawa taruhanya, tidak seperti sekarang bendera mau di taruh mana saja, bahkan jadi kain pel, sungguh miris" wajah penyesalan begitu terlihat, kekecewaan yang mendalam dalam gelap kemarahan.

"kondisi bangsa sudah jauh dari kata merdeka cung, kau akan tahu dari mereka: para buruh, petani gurem (masyarakat kecil), dari merkalah sebenarnya ukuran merdeka, jika kaum pekerja sudah sejahterah barulah bisa dikatakan bahwa bangsamu merdeka" Kakek bercerita seakan berpesan  bahwa sekarang bukan ukuran kemerdekaan, sekarang hanya kulit dari efek sejarah, isi dan subtansi dari merdeka entah kemana??

Pesan singkat yang cukup menggugat, belum lagi kita mengaca pada kebobrokan sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi, bahkan dalam sistem keagamaan. banyak pecundang birokrasi mencuili anggaran rakyat sampai habis. Rakyat hanya bisa tahu jumlah dan angka itu pun kalau mau bertanya.


No comments:

Post a Comment