September 3, 2013

Temanku yang Beda, Seorang Editor Media

Kembali menuliskan kebebasan, temanku yang sekarang menjadi seorang editor dulunya orang yang tak tahu apa-apa terkait jurnalistik. Sekang dia menjadi editor disalah satu media otomotif, meski waktu dia kuliah jurusannya pendidikan.

Kalau ditanya temanku yang satu ini kadang sulit untuk menceritakan, katanya "terlalu panjang untuk cerita menuju kesitu, bisa jadi novel" ungkapnya. Sambil senyum-senyum dia mengungkapkan hal tersebut dengan jemarinya yang masih menghimpit rokok.



"Ya, justru bagus itu menjadi novel, penginspirasi banyak orang, berbagi kemanfaatan atau pengalaman dan keilmuan yang kau miliki" celotehku sambil menasehati.

Seorang editor otomotif yang tidak pernah ku sangka sebelumnya, karena temanku yang akrab dipanggil didink ini dikenal seorang yang kritis terhadap pendidikan, sosial dan politik. Sampai beberapa kali bersamanya dalam satu mata kuliah dosen di bantai habis dalam argumen yang dia keluarkan.


Sebab ketika dalam ia berargumen tidak hanya leterleg dalam konteks pendidikan saja, dia mengaitkan pembahasan denga sosial, politik dan perkembangan kekinian. Wacana yang dia dapat dari koran yang setiap pagi biasa dibaca. Bahkan ketika dia bicara, saya yang menjadi teman dekatnya kurang mampu untuk memahami apa yang dia utarakan.

Meskipun demikian namun apa-apa yang dia utarakan seakan tidak sadar logika ini meng-iyakan, namun sayang setelah itu juga lupa. Maklum kapasitas kita berbeda, namun saya yakin dia punya kelebihan dan kekurangan.

Dan untuk sekarang mulai sedikit terungkap kelebihan dia, mampu dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti halnya ketika dia menjadi seorang editor media otomotif, tanpa pengetahuan otomotif dan kemampuan menulisnya juga pas-pasan namun dia mampu menembus benteng perkembangan medai yang dalam pandangan umum bisa dikatakan sulit.

Kembali penasaran penulis kepada teman yang satu ini, dengan suasana santai menikmati hangatnya kopi yang baru tersaji, ku coba menyelah untuk bertanya kepadanya "bagaimana bisa kau masuk disitu?, padahal ku lihat dirimu dulu tidak demikian, sekarang berubah drastis, wacana dan bahasan yang kau utarakan" tanyaku sambil ku iringi dengan sedikit penjabaran akan rasa penasaran, wajah berharap jawaban pun saya pasang untuk mengorek jawaban.

Dengan antusias saya melihat wajah sumringahnya, menanti ungkapan dari bibirnya, sebagai pembasuh rasa haus penasaran "Semua ada proses dan waktunya sendiri-sendiri" ungkapnya dengan simpel. Ku pahami ketika dia menjawab "sebuah proses" membutuhkan waktu dan usaha untuk menggapainya dan penjabaran tersebut tidak hanya sekilas selesai dengan dua dan tiga paragraf saja.


Sepertinya ia juga masih enggan untuk diketahui teman-temanya sebuah proses apa yang dia lakukuan, seperti apa usaha yang telah terlaksana, tuntutan apa yang bisa membuat pikiranya berubah. Temanku dulu tidak seperti yang dulu ku kenal, yang ku kenal sekarang temanku seorang editor otomotif itu saja.



bersambung...

No comments:

Post a Comment